Sejarah Desa

DI Daerah Blambangan yang terletak diujung timur pulau Jawa adalah termasuk jajahan Kerajaan Menguwi, dimana dari tahun 1705 M pengawasannya diserahkan kepada Kerajaan Jembrana karena Raja Jembrana adalah keturunan Raja Menguwi. Kerajaan Blambangan selalu berpindah tempat, serta nama ibu kotanya berganti-ganti karena selalu mendapat serangan dari Pulau Bali. Pada tahun 1512 M diserang dan ditaklukkan oleh Dalem Watu Renggong Raja Bali sehingga Dalem Juru Raja Blambangan tewas dipenggal oleh Patih Arya Ularan. Pada tahun 1640 M Daerah Blambangan dikuasai oleh Dalem Segening dan pada tahun 1670 M dikuasai oleh Dimade sebagai Raja Bali keturunan Dalem Watu Renggong yang berkedudukan di Gelgel. Namun pada tahun 1697 M, Daerah Blambangan dikuasai oleh Raja Buleleng yaitu I Gusti Ngurah Panji Sakti, tetapi pada tahun 1700 M dikuasai oleh Raja Menguwi Cokorda Sakti Blambangan. Sehubungan dengan Kerajaan Jembrana ditugaskan untuk mengawasi Daerah Blambangan yang justru karena letaknya berdekatan dan ada hubungan kekeluargaan, maka Raja Jembrana sendiri sering berkunjung ke Daerah Blambangan sehingga terjalin hubungan yang akrab sebagaimana bersaudara.

Pada masa pemerintahan Ida Anak Agung Putu Agung Raja Jembrana Ke III yang memerintah dari Tahun 1795 sampai tahun 1814 dimana beliau pada tahun 1809 bersama keluarga mengungsi ke Banyusongan (Rogo Jampi) yang waktu itu disebut Kerajaan Kedawung yang diperintah oleh Rajanya bernama Ki Rempel dengan gelar Pangeran Jogopati dengan melalui seloka/Blambangan. Karena saat itu Kerajaan Jembrana diserang oleh Kerajaan Tabanan dan Badung yang hanya dua (2) tahun berkuasa di Kerajaan Jembrana. Akibat dari penyerangan itu, maka Puri Agung di Jembrana dirampok (kejarahin) hingga rusak, begitu pula Pura dan Pesanggrahan Taman Sari.

Pada tahun 1811, Ida Anak Agung Putu Agung kembali memerintah Kerajaan Jembrana dan pada saat itu diangkat I Gusti Ngurah Gede sebagai Punggawa di Jembrana.

Karena kerusakan Puri, Pura dan Taman Sari maupun Pesanggerahan, maka untuk memugarnya diserahkan sepenuhnya atas kebijaksanaan Punggawa I Gusti Ngurah Gede bersama Pamong-pamong bawahannya. Dalam melaksanakan tugas pemugaran itu Punggawa mengadakan kerja bakti yang terdiri dari tukang-tukang (Undagi) dari segala bidang/lapangan berikut serta semua rakyat, diantaranya ada dari Bayu Songgan/Rogojampi. Adapun tukang-tukang dan rakyat yang ada di kawasan Jembrana semua tekun dalam melaksanakan kerja bakti itu. Hanya tukang dan rakyat dari sebelah timur Desa Tamblang (yang sekarang disebut Desa Sebual), tidak pernah serempak datang untuk ikut melaksanakan pemugaran/gotong royong itu.

Oleh karena itu, berjalan sampai beberapa kali maka Punggawa I Gusti Ngurah Gede mengadakan pemeriksaan. Atas laporan dari salah satu seorang Pamong Desa, bahwa tukang dan rakyat dari sebelah timur Desa Tamblang orang-orangnya memang Mendo atau beku, karena asyiknya mengusahakan sawah serta ladangnya yang terletak disebelah barat, selatan, timur dan utara desanya.

Sehubungan dengan itu, Punggawa I Gusti Ngurah Gede memanggil pamong desa yang melapor itu dan menanyakan betul tidaknya tukang-tukang desa dan rakyat dari sebelah timur desa itu Mendo atau beku.

Maka pada waktu itu pula Pamong Desa menjawab, bahwa tukang dan rakyatnya itu memang MENDO-ONYO. Dari asal kata MENDO-ONYO inilah ovulasi bahasa atau perubahan bahasanya menjadi MENDO-YO, yang disuratkan akhirnya sekarang disebut dan dibahasakan MENDOYO.

Setelah Kepala Pemerintahan Jembrana dan pengiring dibuang ke Banyu Mas, pada tahun 1866, maka Pemerintahan Jembrana menjadi kosong. Dengan kekosongan ini oleh Pemerintahan Belanda diangkat I Wayan Ucap sebagai Punggawa Negara, Si Gde Nurun sebagai Punggawa Jembrana, I Wayan Jembo sebagai Punggawa Mendoyo dan Kapten Mustika sebagai kepala Bali Islam atau disebut Pemekel Loloan. Setelah keempat Distrik itu diresmikan oleh Pemerintahan Belanda, lalu diadakan untuk merundingkan siapa yang patut untuk menjadi Raja Jembrana. Karena keturunan dari para Bangsawan yang patut dipercaya sekarang tidak ada walaupun saudara dari Anak Agung Putu Ngurah yang diasingkan ke Purwakarta ada yaitu Anak Agung Putu Raka, namun tidak mendapat persetujuan dari rakyat karena lemah. Karena dalam rapat tersebut belum ada keputusan, maka pemerintahan Belanda membubarkan rapat tersebut dan kepada keempat Kepala Distrik diminta agar mengadakan atau mencari persetujuan dengan rakyat masing-masing, guna memilih siapa yang disetujui untuk menjadi raja.

Dalam tempo tujuh hari harus sudah selesai dan akan diadakan rapat yang kedua. Didalam rapat yang kedua, dari keempat Distrik itu mengusulkan atas persetujuan rakyatnya yaitu sebagai calon Raja Jembrana yang bernama Anak Agung Made Rai, bekas Raja Muda Jembrana yang masih berada di Pengastulan Buleleng. Atas pencalonan yang serempak itu maka diterima oleh pemerintah Belanda tapi harus ada persetujuan dari Gubernur Jenderal karena Anak Agung Made Rai ini masih dalam status tawanan. Maka mengenai persoalan ini, lalu diserahkan kepada Residen Banyuwangi untuk dilanjutkan kepada Gubernur Jendral di Betawi dan ditunggu tentang keputusannya.

Pada Awal bulan Nopember 1866 keempat kepala Distrik itu mendapat panggilan untuk mengadakan rapat bersama dengan wakil perintah Belanda guna memberitahukan bahwa permohonannya dikabulkan dan disetujui oleh Gubernur General.

Pada kesempatan itu pula, wakil Perintah Belanda membentuk panitia untuk menjemput Anak Agung Made Rai ke Pengastulan Buleleng. Panitia tadi terdiri dari Punggawa Negara I Wayan Ucap, Punggawa Jembrana I Gede Nurun, Punggawa Mendoyo I Wayan Jembo dan Pemekel Loloan Kapten Mustika.

 

Pada akhir bulan Nopember 1866 datanglah ke Jembrana Anak Agung Made Rai untuk sementara menumpang tinggal di kediaman Punggawa Negara I Wayan Ucap di Negara, agar berdekatan dengan tempo kontrolir. Dengan beslit dari Gubernur General Nomor 18 tanggal 15 Januari 1867 diangkatlah menjadi Bastuurde atau Raja Jembrana, Ida Anak Agung Made Rai yaitu saudara misan atau sepupu sekali dari keturunan laki (purusa) dari bekas Raja Anak Agung Putu Ngurah yang diasingkan ke Purwakarta, dilantik (mabiseka) pada bulan Maret 1867 sebagai Raja Jembrana yang ke VI.

Adapun susunan Pemerintah Jembrana pada waktu itu terdiri dari Ida Anak Agung Made Rai sebagai Raja Jembrana, I Wayan Ucap sebagai Punggawa Negara, Si Gede Nurun sebagai Punggawa Jembrana, I Wayan Jembo sebagai Punggawa Mendoyo, Kapten Mustika sebagai pemekel Loloan dan Ida Peranda Putu Megati sebagai Kerta Pujangga atau Kerta Upapati Jembrana dalam pengawasan kontrolir sebagai wakil Pemerintahan Belanda.

           Di dalam Ida A.A Made Rai memulai tugasnya sebagai raja, dalam administrasi pemerintahan telah mulai diatur dan ditertibkan, sehingga sampai pada daerah-daerah pun mulai diatur dengan tertib. Pada waktu ini dimana untuk di Mendoyo dipegang oleh I Wayan Jembo. Selama Punggawa Mendoyo dipegang oleh I Wayan Jembo, telah nampak banyak perubahan-perubahan di dalam pemerintahan atau penertiban tata pemerintahan secara teratur. Dalam wilayah Mendoyo dibagi menjadi daerah-daerah pemerintahan kecil untuk mempermudah dalam mengkoordinir bawahannya. Dalam daerah pemerintahan kecil ditunjuk seorang Kolihan untuk mengurus dan mengatur daerah tersebut dimana bertanggungjawab kepada I Wayan Jembo. Sesuai dengan letak dari daerah Mendoyo bagian barat, yaitu sebelah barat sungai, maka diberi nama Mendoyo Dauh Tukad, seperti sekarang ini.

Dari saat pemerintahan I Wayan Jembo, di mana setiap daerah kecil (setingkat pemerintahan desa sekarang) di mana dipimpin oleh seorang Kelian, yang sekarang berubah nama menjadi Perbekel, di Mendoyo Dauh Tukad pun telah berdiri sendiri sebagai suatu desa seperti sekarang ini, di mana telah ada tata pemerintahan yang sudah teratur.

Demikianlah tentang sekilas mengenai latar belakang sejarah Desa Mendoyo Dauh Tukad, yang dapat kami susun atas dasar atau bersumber kepada sejarah Dinasti Kerajaan Jembrana yang kami peroleh dari lembaran-lembaran tertulis di Puri Agung Negara serta keterangan lain yang kami dapatkan.

Menyinggung mengenai latar belakang sejarah desa ini, maka perlu kiranya kami terangkan urutan dari tokoh-tokoh desa yang pernah menjabat sebagai Perbekel  yang dahulu disebut Kelian dan kemudian berubah menjadi Perbekel.